Bismillah.. Sabtu siang ini, kebetulan lagi nganggur.
Namanya juga Sabtu. Sekolah, ya cuma kelas seni dan lintas minat doang. Sampai dzuhur pula.
Lalu keingetan ada satu tugas lagi yang belom dikerjain..
Apa lagi kalau bukan tugas dari Pak Erwin. Hehehe.
Sebagai negara yang baru
merdeka Indonesia banyak menghadapi masalah di berbagai sektor, diantaranya
ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan militer. Kedatangan kembali Belanda
banyak mewarnai perjalanan Indonesia di awal proklamasi. Kontak fisik yang
banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak membuat PBB ikut campur juga nih terhadap masalah Indonesia-Belanda.
Perjuangan diplomasi pun akhirnya dilakukan (meskipun hasilnya selalu merugikan pihak
Indonesia, hikshiks) dengan harapan segera tercapai kesepakatan antara dua
pihak. Perjuangan diplomasi
dilakukan, misalnya dengan mencari dukungan dunia internasional dan berunding
langsung dengan Belanda.
A. Menarik dukungan dunia Internasional
Perjuangan mencari dukungan
internasional lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah Indonesia di hadapan
sidang Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung dilakukan melalui pendekatan
dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam
sidang-sidang PBB. . Pendekatan yang dilakukan Sutan Syahrir dan Haji Agus
Salim dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947 berhasil
mempengaruhi negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk mendukung
Indonesia. Negara-negara yang mendukung Indonesia antara lain Australia, India,
Liga Arab.
B. Melakukan berbagai
perundingan
Indonesia
juga mengadakan perundingan langsung dengan Belanda. Berbagai perundingan yang
pernah dilakukan untuk menyelesaikan konflik Indonesia- Belanda misalnya:
Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Persetujuan Roem-Royen,
Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.
Sebenarnya, apa sih keuntungan dan kerugian Indonesia melakukan strategi diplomasi ini??
Menurut sayaaaa..
Pertama, keuntungannya adalah Indonesia bisa diakui di mata dunia.
Sebuah negara tentu hanya berunding dengan negara, kan??
Jadi, melalui perundingan dengan suatu negara, Indonesia telah memperlihatkan eksistensinya! Yeaaaahhaa!!
Tapi.. Bisa ada kerugiannya juga.
Cobalah tengok hasil-hasil perundingan yang dilakukan bangsa kita.
Apakah ada yang menguntungkan?
Ah, namanya juga perundingan. Seharusnya memang menguntungkan dan diterima kedua belah pihak, tapi nyatanya?? __"
Ternyata hampir setiap perundingan yang kita lakukan waktu itu merugikan.. Biarpun selalu ada yang menguntungkan, sih.. Selengkapnya bisa dibaca di uraian berikut ini :
Perundingan Linggarjati (10
November 1946)
Sebagai kelanjutan
perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dan
komisi umum Belanda. Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh
juru runding, antara lain sebagai berikut:
Inggris, sebagai pihak
penengah diwakili olehLord Killearn.
Indonesia diwakili oleh
Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H.
(anggota), Dr. A.K Gani (anggota).
Belanda, diwakili Prof.
Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool (anggota).
Perundingan di Linggarjati
tersebut menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian Linggarjati. Berikut
ini adalah isi Perjanjian Linggarjati.
Belanda mengakui secara de
facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Belanda sudah harusmeninggalkan daerah de facto paling lambat pada
tanggal 1 Januari 1949.
Republik Indonesia dan
Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS.
Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar.
Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
RIS dan Belanda akan
membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua. Perjanjian
Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25 Maret
1947 dalam suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.
Perjanjian Linggarjati bagi
Indonesia ada segi positif dan negatifnya.
Segi positifnya ialah
adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
Segi negatifnya ialah bahwa
wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang seluas Hindia Belanda dulu tidak
tercapai.
Perjanjian Renville (8
Desember 1947 – 17 Januari 1948)
KTN berusaha mendekatkan RI
dan Belanda untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukandi tempat yang
netral, yaitu di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat
“USS Renville”. Oleh karena itu, perundingan tersebut dinamakan Perjanjian
Renville.
Perjanjian Renville dimulai
pada tanggal 8 Desember 1947. Hasil perundingan Renville disepakati dan
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Yang hadir pada perundingan di
atas kapal Renville ialah sebagai berikut.
Frank Graham (ketua), Paul
van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby (anggota) sebagai mediator dari PBB.
Delegasi Indonesia Republik
Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua), Ali Sastroamidjojo (anggota),
Haji Agus Salim (anggota), Dr. J. Leimena (anggota), Dr. Coa Tik Ien (anggota),
dan Nasrun (anggota).
Delegasi Belanda Belanda
diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. van Vredenburgh
(anggota), Dr. P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr. Chr. Soumokil (anggota).
Perjanjian Renville
menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut.
Penghentian tembak-menembak.
Daerah-daerah di belakang
garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
Belanda bebas membentuk
negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit
terlebih dahulu.
Membentuk Uni
Indonesia-Belanda. Negara Indonesia Serikat yang ada di dalamnya sederajat
dengan Kerajaan Belanda. Persetujuan Renville ditandatangani oleh Amir
Syarifuddin (Indonesia) dan Abdulkadir Wijoyoatmojo (Belanda).
Perjanjian ini semakin
mempersulit posisi Indonesia karena wilayah RI semakin sempit. Kesulitan itu
bertambah setelah Belanda melakukan blockade ekonomi terhadap Indonesia.
Itulah sebabnya hasil
Perjanjian Renville mengundang reaksi keras, baik dari kalangan partai
politik maupun TNI.
Bagi kalangan partai
politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi.
Bagi
TNI, hasil perundingan itu mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumlah wilayah
pertahanan yang telah susah payah dibangun.
Perjanjian Roem-Royen (17
April – 7 Mei 1949)
Sejalan dengan perlawanan
gerilya di Jawa dan Sumatra yang semakin meluas, usaha-usaha di bidang
diplomasi berjalan terus. UNCI mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin
RI di Bangka. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949
memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada tanggal 28
Januari 1949. UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.
Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta.
Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem. Delegasi Belanda dipimpin Dr.
van Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran dari UNCI yang berasal dari Amerika
Serikat. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan. Persetujuan itu
dikenal dengan nama “Roem-Royen Statement”. Dalam perundingan ini, setiap
delegasi mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi Indonesia
antara lain sebagai berikut.
Soekarno dan Hatta
dikembalikan ke Yogyakarta.
Kesediaan mengadakan
penghentian tembakmenembak.
Kesediaan mengikuti
Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta.
Bersedia bekerja sama dalam
memulihkan perdamaian dan tertib hukum.
Sedangkan pernyataan dari
pihak Belanda adalah sebagai berikut.
Menghentikan gerakan
militer dan membebaskan tahanan politik.
Menyetujui kembalinya
Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Menyetujui Republik
Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
Berusaha menyelenggarakan
Konferensi Meja Bundar.
Pada tanggal 6 Juli 1949,
Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. Pengembalian Yogyakarta ke
tangan Republik Indonesia diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari
Yogyakarta. Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19
Desember 1948 – 6 Juli 1949.
Konferensi
Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)
Sebelum Konferensi Meja
Bundar berlangsung, dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan negara- negara
bagian (BFO) terutama berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat.
Konferensi Inter-Indonesia ini penting untuk menciptakan kesamaan pandangan
menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI
kembali ke Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada
tanggal 19 – 22 Juli 1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad
Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli –
2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua
BFO). Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan
pada masalah pembentukan RIS, antara lain:
masalah tata susunan dan
hak Pemerintah RIS,
kerja sama antara RIS dan
Belanda dalam Perserikatan Uni.
Hasil positif Konferensi
Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.
Negara Indonesia Serikat
yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Bendera kebangsaan adalah
Merah Putih.
Lagu kebangsaan adalah
Indonesia Raya.
Hari 17 Agustus adalah Hari
Nasional.
Dalam bidang militer,
Konferensi Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.
Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
TNI menjadi inti APRIS dan
akan menerima orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL dan kesatuan-kesatuan
tentara Belanda lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
Pertahanan negara adalah
semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak mempunyai angkatan
perang sendiri.
Kesepakatan tersebut
mempunyai arti penting sebab perpecahan yang telah dilakukan oleh Belanda
sebelumnya, melalui bentuk-bentuk negara bagian telah dihapuskan. Kesepakatan
ini juga merupakan bekal yang sangat berharga dalam menghadapi Belanda dalam
perundingan-perundingan yang akan diadakan kemudian. Pada tanggal 1 Agustus
1949, pihak Republik Indonesia dan Belanda mencapai persetujuan penghentian
tembak-menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di
Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Tercapainya kesepakatan tersebut memungkinkan
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Konferensi Meja Bundar
(23 Agustus 1949 – 2 November 1949)
Konferensi Meja Bundar
(KMB) diadakan di Ridderzaal, Den Haag, Belanda. Konferensi dibuka pada tanggal
23 Agustus 1949 dan dihadiri oleh:
Delegasi Republik Indonesia
dipimpin Mohammad Hatta,
Delegasi BFO dipimpin
Sultan Hamid,
Delegasi Kerajaan Belanda
dipimpin J. H. van Maarseveen, dan
UNCI diketuai oleh
Chritchley.
Konferensi Meja Bundar
dipimpin oleh Perdana Menteri Belanda, W. Drees. Konferensi berlangsung dari
tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949. Dalam konferensi dibentuk
tiga komisi, yaitu: Komisi Ketatanegaraan, Komisi Keuangan, dan Komisi Militer.
Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perundingan adalah:
dari Komisi Ketatanegaraan
menyangkut pembahasan mengenai Irian Jaya,
dari Komisi Keuangan
menyangkut pembicaraan mengenai masalah utang.
Belanda menuntut agar
Indonesia mengakui utang terhadap Belanda yang dilakukan sampai tahun 1949.
Dalam bidang militer, tanpa ada kesulitan siding menyepakati inti angkatan
perang dalam bentuk Indonesia Serikat adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, KNIL (tentara
Belanda di Indonesia) akan dilebur ke dalam TNI. KMB dapat menghasilkan
beberapa persetujuan. Berikut ini adalah beberapa hasil dari KMB di Den Haag:
Belanda menyerahkan
kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat kepada RIS.
Republik Indonesia Serikat
(RIS) terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara federal. Corak pemerintahan
RIS diatus menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama
Konferensi Meja Bundar berlangsung.
Melaksanakan penyerahan
kedaulatan selambat- lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
Masalah Irian Jaya akan
diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.
Kerajaan Belanda dan RIS
akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Uni ini merupakan badan konstitusi
bersama untuk menyelesaikan kepentingan umum.
Menarik mundur pasukan
Belanda dari Indonesia dan membubarkan KNIL. Anggota KNIL boleh masuk ke dalam
APRIS.
RIS harus membayar segala
utang Belanda yang diperbuatnya semenjak tahun 1942.
Demikianlah beberapa perundingan/strategi diplomasi yang pernah dilakukan Indonesia
Keuntungan dan kerugian bisa dilihat dari hasilnya..
References :
http://nurhidayantisilalahi.blogspot.com/2013/09/ips-usaha-perjuangan-kemerdekaan_8254.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar