Pages

Kamis, 24 September 2015

PERISTIWA G30S/PKI, #1 LATAR BELAKANG

Sejarah peristiwa G30S/PKI yang juga dikenal dengan nama aslinya, Gerakan 30 September atau singkatan lain berupa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober) merupakan salah satu peristiwa yang terjadi ketika Indonesia sudah beberapa tahun merdeka. Sesuai namanya, peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 September 1965 malam, hingga esok harinya dimana ada pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dalam sebuah kudeta. Ada banyak teori konspirasi yang mewarnai sejarah peristiwa ini. LET'S CHECK 'EM OUT!!

Latar Belakang Peristiwa
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". Dalam pelaksanaan demokrsi terpimpin, Presiden soekarno menerapkan sistem politik keseimbangan (balance of power). Hal ini diterapkan bukan hanya dalam pertahanan negara seperti angkatan darat, laut, dan udara, tapi juga antara angkatan militer dan partai politik yang ada. Perkembangan politik masa demokrasi terpimpin seluruhnya terpusat pada Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI sebagai pendukung utama. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI sendiri berkembang menjadi besar karena didukung oleh presiden, seperti melakukan pembentukan kabinet gotong royong (PKI-MASYUMI-NU-PNI). Pada masa ini Soekarno juga memberikan ajaran tentang pentingnya kaum nasionalis, agama, dan komunis untuk bersatu. Dampak dari ajaran ini memang sangat menguntungkan PKI, seolah olah partai ini telah ditempatkan pada garda terdepan dalam pelakasanaan demokrasi terpimpin.
Seperti kita kethaui sebenarnya konsepsi tentang NASAKOM ini banyak ditentang baik oleh Masyumi, NU, PNI, ataupun tokoh masyarakat. Soekarno selalu menegaskan bawa masyarakat jangan terlau memandang negatif PKI dan komunisme, karena menurutnya semua ideologi harus bersatu. Bahkan konsepsi ini terus diperetegas dengan pidato tgl 17 Agustus 1959 “penemuan kembali revolusi kita” yang kemudian diserahkan kepada DPA yang saat itu dipimpin tokoh PKI, DN AIDIT!!! Akhirnya dirumuskan menjadi GBHN, (selanjutnya diberi judul “Manifesto Politik Republik Indonesia” (Manipol)). Kebijakan politik luar negeri pun lebih memihak kepada Tiongkok atau blok komunis.
Seperi yang sudah saya katakana di awal, ada berbagai faktor/isu yang melatarbelakangi peristiwa G3OS/PKI, diantaranya :
Isu sakitnya Sukarno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Sukarno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Sukarno meninggal dunia. Siapa yang akan menggantikan beliau? Tentu saja TNI AD adalah opsi paling kuat. Namun, PKI menyebarkan isu bahwa para TNI membentuk Dewan Jenderal, yang kelak akan mengkudeta Sukarno. Sukarno memperacayai isu ini, tetapi Jenderal Ahmad Yani segera megklarifikasi bahwa dewan jenderal tersebut maksudnya adalah perkumpulan para jenderal untuk membahas hal-hal biasa, seperti kenaikan pangkat, kebijkan-kebijakan, dan sebagainya, bukan mengkudeta.
Selanjutnya, isu yang mengemuka adalah mengenai Angkatan Kelima.
Pada awal tahun 1965 Sukarno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Ankatan kelima terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Sukarno kemudian meminta klarifikasi pada Jenderal Ahmad Yani, dan akhirnya isu ini pun menguap lagi.
Faktor ketiga adalah Malaysia.
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan tentu beliau ingin melakukan balas dendam. Akhirnya Sukarno mencetuskan  gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. tetapi, perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor lainnya adalah factor Amerika Serikat (CIA).
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang dingin dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada TNI AD. Menagapa> saat itu, TNI AD-lah yang sangat concern untuk memberantas komunisme (PKI).
Last but not least, faktor ekonomi. Faktor ini selalu linier dengan politik. Apabila politiknya kacau, sudah tentu ekonominya berantakan. Sebaliknya, carut marut perekonomian suatu negara menandakan ada yang tidak beres dengan perpolitikannya. Iya, nggak?
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.


Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya, bahkan mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka. Sedih, ya? Pantas saja mereka sangat tidak puas dengan pemerintahan saat itu.

(BERSAMBUNG KE POSTINGAN #2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar