Sejarah peristiwa G30S/PKI yang juga dikenal dengan nama aslinya,
Gerakan 30 September atau singkatan lain berupa Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober) merupakan salah satu peristiwa yang
terjadi ketika Indonesia sudah beberapa tahun merdeka. Sesuai namanya,
peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 September 1965 malam, hingga esok harinya
dimana ada pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dalam sebuah kudeta. Ada banyak teori konspirasi yang
mewarnai sejarah peristiwa ini. LET'S CHECK 'EM OUT!!
Latar Belakang Peristiwa
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi
Terpimpin". Dalam pelaksanaan demokrsi terpimpin, Presiden soekarno
menerapkan sistem politik keseimbangan (balance of power). Hal ini
diterapkan bukan hanya dalam pertahanan negara seperti angkatan darat, laut,
dan udara, tapi juga antara angkatan militer dan partai politik yang ada.
Perkembangan politik masa demokrasi terpimpin seluruhnya terpusat pada Presiden
Soekarno dengan TNI-AD dan PKI sebagai pendukung utama. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi
yang penting.
PKI sendiri berkembang menjadi besar karena didukung oleh presiden,
seperti melakukan pembentukan kabinet gotong royong (PKI-MASYUMI-NU-PNI). Pada
masa ini Soekarno juga memberikan ajaran tentang pentingnya kaum nasionalis,
agama, dan komunis untuk bersatu. Dampak dari ajaran ini memang sangat
menguntungkan PKI, seolah olah partai ini telah ditempatkan pada garda terdepan
dalam pelakasanaan demokrasi terpimpin.
Seperti kita kethaui sebenarnya konsepsi tentang NASAKOM ini banyak
ditentang baik oleh Masyumi, NU, PNI, ataupun tokoh masyarakat. Soekarno selalu
menegaskan bawa masyarakat jangan terlau memandang negatif PKI dan komunisme,
karena menurutnya semua ideologi harus bersatu. Bahkan konsepsi ini terus
diperetegas dengan pidato tgl 17 Agustus 1959 “penemuan kembali revolusi kita”
yang kemudian diserahkan kepada DPA yang saat itu dipimpin tokoh PKI, DN
AIDIT!!! Akhirnya dirumuskan menjadi GBHN, (selanjutnya diberi judul “Manifesto
Politik Republik Indonesia” (Manipol)). Kebijakan politik luar negeri pun lebih
memihak kepada Tiongkok atau blok komunis.
Seperi yang sudah saya katakana di awal, ada berbagai faktor/isu
yang melatarbelakangi peristiwa G3OS/PKI, diantaranya :
Isu sakitnya Sukarno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu
sakit parahnya Sukarno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan
kekuasaan apabila Sukarno meninggal dunia. Siapa yang akan menggantikan beliau?
Tentu saja TNI AD adalah opsi paling kuat. Namun, PKI menyebarkan isu bahwa
para TNI membentuk Dewan Jenderal, yang kelak akan mengkudeta Sukarno. Sukarno
memperacayai isu ini, tetapi Jenderal Ahmad Yani segera megklarifikasi bahwa
dewan jenderal tersebut maksudnya adalah perkumpulan para jenderal untuk membahas
hal-hal biasa, seperti kenaikan pangkat, kebijkan-kebijakan, dan sebagainya,
bukan mengkudeta.
Selanjutnya, isu yang mengemuka adalah mengenai Angkatan Kelima.
Pada awal tahun 1965 Sukarno atas saran dari PKI akibat dari
tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri
sendiri terlepas dari ABRI. Ankatan kelima terdiri dari para buruh dan petani
yang dipersenjatai. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini
lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Sukarno kemudian
meminta klarifikasi pada Jenderal Ahmad Yani, dan akhirnya isu ini pun menguap
lagi.
Faktor ketiga adalah Malaysia.
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno
dengan PKI.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia
saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap
Malaysia pun meledak.
Soekarno mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia dan tentu beliau ingin melakukan balas dendam. Akhirnya
Sukarno mencetuskan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara
Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. tetapi,
perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen
Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan
dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat
A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan
politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu
pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak
mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang.
Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati
di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di
Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia
merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari
kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya
sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno
merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya
kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui
bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak
ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang
Malaysia".
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan
"ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek
nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka
sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya
idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah
yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin
menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan
Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam
kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi
Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia
dari PBB (20 Januari 1965).
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai
mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal
serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia,
berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang
diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari
PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor lainnya adalah factor Amerika Serikat (CIA).
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang dingin
dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada TNI AD. Menagapa> saat itu,
TNI AD-lah yang sangat concern untuk memberantas komunisme (PKI).
Last but not least, faktor ekonomi.
Faktor ini selalu linier dengan politik. Apabila politiknya kacau, sudah tentu
ekonominya berantakan. Sebaliknya, carut marut perekonomian suatu negara
menandakan ada yang tidak beres dengan perpolitikannya. Iya, nggak?
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak
sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan
semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi,
rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang
kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini
adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan
penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur.
Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari
hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak
layak dikonsumsi lainnya, bahkan mereka menggunakan kain dari karung sebagai
pakaian mereka. Sedih, ya? Pantas saja mereka sangat tidak puas dengan
pemerintahan saat itu.
(BERSAMBUNG KE POSTINGAN #2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar